Sunday, April 22, 2012

Detik - Detik Seorang Perantau

Dalam kulturku, Bugis, merantau adalah hal lumrah, banyak anak-anak muda bugis yang bepergian jauh meninggalkan kehangatan rumah dan keluarga untuk bekerja, atau sekedar mencari pengalaman. Tidak peduli laki atau perempuan, semuanya berani menghadapi kehidupan jauh dari keluarga..
Selama lebih 4 tahun ku mengahabiskan umur bekerja dan belajar di tanah ini ada saat –saat membahagiakan dan juga membuat sedih yang juga mungkin dirasakan teman senasib :
Saat membahagiakan :
Ketika pulang kampung, saat di atas pesawat dan pramugari berkata “ para penumpang yang terhormat, dalam waktu beberapa saat lagi kita akan mendarat di bandara internasional Sultan Hasanuddin Makassar, silahkan kembali ke temapt duduk anda.. bla bla bla” dan melihat dari atas kota Makassar, pantainya, daratannya.. wow… momen paling indah sepanjang perjalanan, ingin rasanya berteriak.. “oiii Makassar datangma’.. akhirnya wuaa…. Pulang ..pulang….horrayyyyyyy!!!” hhhee aneh sebenarnya, sekalipun orangtua dan saudara-saudariku semuanya telah tinggal di Kendari sekarang, namun tetap, hatiku masih lebih dekat ke Makassar….
Diperantauan, ketika bertemu dengan teman-teman, dan saudara baru yang baik dan ramah, dangan hati yang tulus ingin bersahabat.. mereka bukan saudara kandung, tidak punya hubungan darah, tidak sesuku, tidak sama dialeknya, beda kebiasaan, dan tentunya beda wajah, namun tidak mengharapkan suatu pun dari kita kecuali persahabatan dan persaudaraan..
Di perantauan, ketika bertemu dengan orang yang juga bersal dari makassar.. hhhee, atau ketika di tempat keramaian tiba-tiba mendengar ada yang berbicara dengan dialek makassar, wow ada kesenangan tersendiri , setidaknya berkata “hemmm, tidak sendiri ja’ di rantau.. hhee”
Ketika bisa berada dekat dengan hiruk-pikuk dan menyaksikan dengan langsung sesuatu yang jika di kampung hanya bisa disaksikan di televisi
Ketika Ada saudara ato keluarga yang kebetulan berkunjung..
Ketika bisa bebas kemana saja , pulang malam, dan berbuat apa saja yang ketika di kampung mungkin akan agak sulit dilakukan
Ketika sedang kesusahan dan datanglah pertolongan lewat teman-teman di perantauan..

Saat paling menyedihkan :
Ketika sudah tiba waktunya kembali ke tanah perantauan, kembali di atas pesawat… ketika parlahan masuk ke dalam pesawat, duduk dengan sangat malas, dengan berat mengencangkan sabuk pengaman, huhhh… Ketika dengan tidak bergairahnya melihat para pramugari itu sibuk bolak-balik mengatur penumpang pun ketika meraka sibuk berjalan ke depan ke balakang sambil membawa sejenis alat penghitung yang mirip tasbih yang berbunyi kletok-kletok sambil menghitung penumpang dengan rok panjang yang belahannya hampir sampai di pinggang itu, dan puncaknya adalah…… ketika pesawat mulai berjalan di runway dan perlahan terangkat ke atas, hening, rasa aneh di perut saat take off bersamaan datangnya dengan rasa sedih menyaksikan kota Makassar yang semakin menjauh, terbang ke angkasa melawati bukit-bukit kapur di area pabrik semen,.. dalam hati berkata “ oh God, pergi maki seng merantau, ditinggalkan mi seng keluargata’, rumahta’ tetanggata’, kodong,.. tidak ada poeng keluarga ku disana…. Edede…. Coba kodong kasi’ ka lagi waktu 1 minggu mo tinggal lagi sebentar….” Dan rasa itu masih terbawa hingga mendarat di soetta, dengan malasnya mengambil bagasi, keluar bandara tanpa ada senyum di wajah. Di atas bus hanya terdiam, dan butuh setidaknya 3 hari bagiku untuk kembali normal, selama itu.. pekerjaan dengan malas kugeluti, hanya bisa berkata sekedarnya, dan akhirnya setelah masa penyesuaian itu selasai, kubisa kembali bercanda dan kembali mencintai kehidupan kota Bekasi, Jakarta dan sekitarnya….
Ketika tiba-tiba sakit and no one there to care.. teman-teman semuanya sibuk dengan pekerjaannya… ohhh,…
Ketika harus berlebaran sendirian, karena teman-teman sekampung sudah pulang kampung.. ckckckckckk
Ketika mendapat kabar sedih dari kampung,.. dan tidak bisa segera pulang.. dan ketika pulang ternyata it’s too late…
Kadang merasa iri dengan orang-orang yang kampungnya masih di Jawa / Lampung yang jaraknya bisa ditempuh dalam 12 jam dan ongkos yang cuma 300ribuan pp, jiah… kalau begitu ane mudik tiap bulan juga bisa….!!!!


That’s my story.. apa ceritamu…

Bekasi, 14 April 2012

Wednesday, November 2, 2011

Tugas AUTO CAD


akhirnya tugas menggambar ragum buat kuliah CAD gw selesai, meski ada kekurangan, belum di champer dan ulirnya belum digambar... thanks andro..........

Monday, October 31, 2011

Aku mengakhiri kebingunganku tentang shalat tarawih

Dari dulu ane selalu dibingungkan tentang jumlah rokaat sholat tarawih, 8 atau 20???? Sejak dulu juga ane mengamalkan yang 8 rokaat berjamaah, mesjipun pernah juga membaca keterangan yang merojihkan pendapat yang 20 rokaat di buku 40 masalah agama…
Alhamdulillah, kebimbangan itupun hilang romadon tahun ini, setelah mendapat penjelasan dari ustad dadang hhehe…
Jadi begini,..
Pada jaman Rosulullah SAW sholat tarawih belum dikenal, atau mudahnya tidak diberi nama sholat tarawih, penamaan ini baru muncul pada masa kemunculan ilmu fiqih, demikian juga pada saat itu sholat-solat seperti sholat ba’diah dan qobliah belum dinamakan. Penamaan oleh para ahli fiqh tak lain bertujuan untuk memudahkan kita…
Lanjut,
Sehingga yang dimaksud dengan sholat tarawih tak lain dan tak bukan adalah sholat malam equal to qiyamul lail yang dilaksanakan pada bulan romadhon, jadi bedanya pada waktu pelaksanaannya saja. Diluar romadhon dinamakan qiyamul lail biasa tapi pada bulan romadhon dinamakan sholat tarawih.
Jadi berapa rokaat dong???
Nah, qiyamul lail itu tidak ada batasan rokaatnya unuk dikerjakan, boleh semampunya. Jadi demikian pula dengan sholat tarawih kita, tidak ada batasan rokaatnya.
Trus, kenapa sekarang yang terkenal dan umum dilaksanakan adalah 8 dan 20 rokaat( plus 3 witir)?
Nah, kata tad dadang, yang dilaksanakana rosul yang kemudian dilihat oleh para sahabat adalah 11 rokaat, dan itupun bukan sholat tarawih melainkan witir. Penjelasannya sangat jelas di kitab ( ane lupa apa, tapi kalo ga salah di bulughul marom),…… dan memang untuk sholat witir batasan maksimalnya adalah 11 rokaat.
Kemudian kenapa ada 20 rokaat, nah itu adalah pada masa khulafaur rasyidin (hehhe lagi-lagi ane lupa waktu holifahnya siapa.. maap), ketika umat semakin banyak dan islam tersebar luas, dimasa itu pada saat romadhon orang-orang pada sholat lail sendiri-sendiri di masjid. Kemudian oleh kholifah dipikirkan alangkah baiknya kalo berjamaah, maka dikumpulkanlah para jamaah. Kemudian ditanya berapa rokaat mereka sholat, ada yang jawab 100 rokaat, bervariasi, tapi kebanyakan 60 dan 80 rokaat. Kemudian ditanya siapa yang paling sedikit, akhirnya ada yang menjawab 20 rokaat. Nah, dari situlah disepakati jumlah rokaat untuk berjamaah adalah 20 (ngambil yang paling sedikit, mungkin untuk member keringanan jadi semua bisa ikut).. okeeeeeeeeeee….
Jadi kesimpulannya????
Kalau saya sih, terserah mau 8 atau 20, karena untuk qiyamul lail ga ada batasan maximalnya, kecuali witirnya yang maksimal 11 rokaat. Akhirnya…………..